Aliran-Aliran Dalam Fiqh

BAB I
PENDAHULUAN

Membahas masalah aliran-aliran pemikiran dalam islam, maka tidak lain adalah membahas masalah ajaran-ajaran islam itu sendiri. Dalam sebuah perguruan tinggi, aliran-aliran atau ajaran ajaran itu biasa disebut dengan studi islam. Di kalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi islam (agama) dapat dimasukkan kedalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda.
Namun sesuai dengan perkembangan zaman, perdebatan-perdebatan di kalangan para ahli tentang apakah sebenarnya studi islam menghasilkan titik temu. Nah, untuk itulah kiranya kita harus mengetahui aliran atau ajaran islam yang dalam masa ini lebih dikenal dengan studi islam. Studi-studi dalam islam memiliki banyak sekali aliran. Namun yang paling popular dalam perkembangannya ada empat buah ilmu pengetahuan, yaitu; ilmu kalam, ilmu fiqih (hukum), ilmu tasawuf, dan ilmu hadits. Disini kami secara khusus akan membahas tentang aliran pemikiran fiqih dan Ushul Fiqh.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.   Aliran – Aliran Dalam Fiqh
Secara historis, hukum Islam telah menjadi dua aliran pada zaman sahabat Nabi Muhammad saw. Dua aliran tersebut adalah Madrasat al-Madinah dan Madrasat al-Baghdad atau Madrasat al-Madis dan Madrasat al-Ra’y. Ibnu al-Qayim al-Jauziyyah menyebutnya sebagai Ahl al-Zhahir dan Ahl al-Ma’na [Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, 2001:159]. Aliran Madinah terbentuk karena sebagian besar sahabat tinggal di Madinah, dan aliran Bagdad atau Kufah juga terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di kota tersebut. Maka, atas jasa para sahabat Nabi Muhammad saw yang tinggal di Madinah, terbentuklah fuqaha sab’ah [ahli hukum] yang juga mengajarkan dan mengembangkan gagasan guru-gurunya dari kalangan sahabat. Di antara fuqaha sab’ah adalah Sa’id bin al-Masayyab. Salah satu murid Said bin al-Musayyab adalah Ibnu Syihab al-Zuhri. Sedangkan di antara murid Ibnu Syihab al-Zuhri adalah Imam Malik, pendiri aliran Maliki. Di antaranya, ajaran Imam Malik yang paling terkenal adalah ia menjadikan ijma dan amal ulama Madinah sebagai hujah. Jasa sahabat Nabi Muhammad saw, yang tinggal di Bagdad, terbentuklah aliran ra’yu. Di antara sahabat yang tinggal di Kufah adalah Abd Allah bin Mas’ud, muridnya adalah al-Aswad bin Yazid al-Nakha’i, Amir bin Syarahil al-Sya’bi, dan Abu Hanifah pendiri mazhab Hanafi. Salah satu ciri fikih Abu Hanafiah adalah sangat ketat dalam penerimaan Hadis dan banyak menggunakan ra’y. Di antara pendapatnya adalah bahwa bendak wakaf boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan – kecuali wakaf tertentu – karena ia berpendapat bahwa benda yang telah diwakafkan masih tetap menjadi miliki yang mewakafkan. Istimbath al-ahkam yang digunakannya adalah analogi [al-qiyas]; ia menganalogikan wakaf kepada pinjam-meminjam [al-‘ariyyah] [Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, 2001:159].
Setelah melalui perkembangan panjang, produk hukum “mengkristal menjadi mazhab-mazhab fikih yang tetap bertahan dan diikuti sampai saat ini. Ulama-ulama fikih mengembangkan dua pendekatan yang berbeda terhadap fikih. Satu didasarkan kepada “pemikiran” [ra’yi] dan “alnalogi” [qiyas]. Pendekatan ini diwakili oleh ulama-ulama Iraq. Satunya, produk hukum didasarkan pada sunnah, tradisi-tradisi Nabi. Pendekatan kedua diwakili oleh ulama-ulama Hijaz, dan di kalangan orang-orang Iraq, terdapat sedikit hadis, karena itu mereka lebih menonjol menggunakan pendekatan analogi, sehingga mereka disebut ahl al ra’yi. Tokoh-tokoh Kufah [Irak] yang menjadi pusat mazhab dari jama’ah dan sahabat adalah imam Hanafiah. Sedangkan di Hijaz adalah Malik bin Annas, dan sesudahnya asy Syafi’I [Khaldun, 2001:566].
Sejalan dengan perkembangan hukum, telah melalui proses yang panjang dan kemudian produk hukumnya mengkristal menjadi mazhab-mazhab fikih yang tetap bertahan dan diiukuti sampai saat ini, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali.
Pertama, Abu Hanifah al-Nu’man ibn Sabit, berasal dari keturunan Persia dan lahir di Kufa pada tahun 700 M. Ayahnya bekerja sebagai pedagang dan Abu Hanifah sendiri sambil berdagang mementingkah ilmu pengetahuan. Abu Hanifah belajar pada gurunya Hammad, dan setelah gurunya Hammad meninggal dunia, Abu Hanifah menggantikan tempat yang ditinggalkan gurunya itu. Setelah Abu Hanifah menjadi masyhur, kepadanya jabatan resmi ditawarkan di zaman Dinasti Bani Umayyah dan kemudian juga di zaman Dinasti Bani Abbas. Tetapi kedua tawaran tersebut di tolah oleh Abu Hanifah dan atas penolakannya itu akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dan meninggal dunia di tahun 767 M.
Mazhab Hanafi, merupakan mazhab yang resmi digunakan oleh kerajaan Usmani dan di zaman Bani Abbas banyak di anut di Irak. Sekarang penganut mazhab itu banyak terdapat di Turki, Suria, Afganistan, Turkistan, dan India. Beberapa negara masih memakai mazhab ini sebagai mazhab resmi seperti Suria, Lebanon, dan Mesir [Harun Nasution, 1986:14-15].
Kedua, Malik ibn Anas, lahir di Medinah pada 713, dan meninggal pada tahun 795 M dan berasal dari Yamam. Malik, tidak pernah meninggalkan kota itu kecuali untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Karya besar yang ditinggal Malik, bernama “al-Muwatta” suatu buku yang sekaligus merupakan buku hadis dan buku fikih. Khalifah Harun al-Rasyid, berusaha membuat buku ini sebagai buku hukum yang berlaku untuk umum di zamannya, tetapi tidak disetujui oleh Malik. Dalam perkembangan pemikiran hukumnya, Malik banyak berpegang pada sunnah Nabi dan sunnah Sahabat. Dalam hal adanya perbedaan antara sunnah, ia berpegang pada tradisi yang berlaku di masyarakat Medinah, karena ia berpendapat bahwa tradisi yang terbentuk di Medinah berasal dari sahabat, dan tradisi sahabat lebih kuat dipakai sebagai sumber hukum. Dalam proses menetapkan hukum, apabila Malik, tidak dapat memperoleh dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, Malik, memakai “qiyas” dan “al-masalih al-mursalah”, yaitu masalah umum. Mazhab Malik, banyak dianut di Hejaz, Marokko, Tunis, Tripoli, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, dan Kuwait, yaitu di dunia Islam sebelah Barat dan kurang di dunia Islam sebelah Timur [Harun Nasution, 1986:16].
Ketiga, Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, lahir di Gazza tahun 767 M dan berasal dari suku bangsa Quraisy, meninggal di Mesir pada tahun 820 M. Ia meninggalkan pekerjaannya dan tinggal di Bagdad beberapa tahun untuk mempelajari ajaran-ajaran hukum yang ditinggalkan Abu Hanifah, maka ia mengenal secara dekat fikih Malik dan fikih Abu Hanifah. Pada memikiran hukumnya, al-Syafi’I dikenal meninggalkan dua bentuk mazhab, yaitu bentuk bantuk baru dan bentuk lama. Bentuk lama disusun di Bagdad dan terkandung dalam al-Risalah, al-Umm, dan al-Mabsut. Bentuk baru disusun di Mesir dan disini al-Syafi’I, merobah sebahagian dari pendapat-pendapat lama. Dalam pemikiran hukumnya, al-Syafi’I, berpegang pada lima tidak diketahui adanya perselisihan mereka di dalamnya, pendapat yang dalamnya terdapat perselisihan dan qias atau analogi. al-Syafi’I, banyak memakai sunnah Nabi sebagai sumber hukum, bahkan membuat sunnah dekat sederajat dengan al-Qur’an. Pemikiran Istihsan yang dibawa Abu Hanifah dan pemikiran al-masalih al-mursalah oleh Malik, ditolak oleh al-Syafi’I sebagai sumber hukum. Dalam perkembangannya, al-Syafi’I-lah ahli hukum Islam pertama yang menyusun ‘ilmu usul al-fiqh, ilmu tentang dasar-dasar hukum dalam Islam, sebagai terkandung dalam buku al-Risalah. Mzhab imam al-Syafi’i banyak berkembang dan dianut didaerah pedesaan Mesir, Palestina, Suria, Lebanon, Irak, Hejaz, India, Indonesia, dan juga di Persia dan Yaman [Harun Nasution, 1986:17].
Keempat, Ahmad ibn Hambal, lahir di Bagdad tahun 780 M berasal dari keturunan Arab dan ia meninggal di Bagdad pada tahun 855 M. Dalam pemikiran hukumnya, Ahmad ibn Hambal menggunakan lima sumber, yaitu al-Qur’an, sunnah Nabi, pendapat sahabat yang diketahui tidak mendapat tantangan dari sahabat lain, pendapat seseorang atau beberapa sahabat, dengan syarat sesuai dengan al-Qur’an serta sunnah Nabi, hadis mursal, dan qiyas, tetapi hanya dalam keadaan terpaksa. Penganut mazhab Ahmad ibn Hambal, terdapat di Irak, Mesir, Suria, Palestina, dan Arabia. Di Saudi Arabia mazhab Ahmad ibn Hambal merupakan mazhab resmi dari negara. Dilihat dari sisi pengikutnya, dintara keempat mazhab yang ada sekarang, mazhab Ahmad ibn Hambal termasuk paling kecil penganutnya [Harun Nasution, 1986:18].

2.2.   Aliran Aliran Dalam Ushul Fiqh
1. Aliran Mutakallimin
Para ulama dalam aliran ini dalam pembahasannya dengan menggunakan cara-cara yang digunakan dalam ilmu kalam yakni menetapkan kaidah ditopang dengan alasan-alasan yang kuat baik naqliy (dengan nash) maupun 'aqliy (dengan akal fikiran) tanpa terikat dengan hukum furu' yang telah ada dari madzhab manapun, sesuai atau tidak sesuai kaidah dengan hukum-hukum furu' tersebut tidak menjadi persoalan. Aliran ini diikuti oleh para ulama dari golongan Mu'tazilah, Malikiyah, dan Syafi'iyah.
2. Aliran Hanafiyah.
Para ulama dalam aliran ini, dalam pembahasannya, berangkat dari hukum-hukum furu' yang diterima dari imam-imam (madzhab) mereka; yakni dalam menetapkan kaidah selalu berdasarkan kepada hukum-hukum furu ' yang diterima dari imam-imam mereka. Jika terdapat kaidah yang bertentangan dengan hukum-hukum furu' yang diterima dari imam-imam mereka, maka kaidah itu diubah sedemikian rupa dan disesuaikan dengan hukum-hukum furu' tersebut. Jadi para ulama dalam aliran ini selalu menjaga persesuaian antara kaidah dengan hukum furu' yang diterima dari imam-imam mereka.
Di antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini, yaitu : kitab yang disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin' Aliy yang terkenal dengan sebutan Al Jashshash (wafat pada tahun 380 Hijriyah), kitab yang disusun oleh Abu Zaid ' Ubaidillah bin 'Umar Al Qadliy Ad Dabusiy (wafat pada tahun 430 Hijriyah), kitab yang disusun oleh Syamsul Aimmah Muhammad bin Ahmad As Sarkhasiy (wafat pada tahun 483 Hijriyah). Kitab yang disebut terakhir ini diberi penjelasan oleh Alauddin Abdul 'Aziz bin Ahmad Al Bukhariy (wafat pada tahun 730 Hijriyah) dalam kitabnya yang diberi nama Kasyful Asrar .Dan juga kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini ialah kitab yang disusun oleh Hafidhuddin 'Abdullah bin Ahmad An Nasafiy (wafat pada tahun 790 Hijriyah) yang berjudul 'Al Manar, dan syarahnya yang terbaik yaitu Misykatul Anwar.

BAB III
PENUTUP

Secara historis, hukum islam telah menjadi 2 aliran pada zaman sahabat Nabi Muhammad SAW. Dua aliran tersebut adalah Madrasat Al-Madinah dan Madrasat Al-Baghdad/Madrasat Al-Hadits dan Madrasat Al-Ra’y. Aliran Madinah terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di Madinah, aliran Baghdad/kuffah juga terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di kota tersebut.
Aliran hukum islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang hanya beberapa aliran diantaranya Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah, akan tetapi yang sering dilupakan dalam sejarah hukum islam adalah bahwa buku-buku sejarah hukum islam cenderung memunculkan aliran-aliran hukum yang berafiliasi dengan aliran sunni, sehingga para penulis sejarah hukum islam cenderung mengabaikan pendapat khawarij dan syi’ah dalam bidang hukum islam.

1 komentar: