Asal-Usul Rumah Aceh di Mekkah

Desember, jemaah haji dari Aceh akan kembali. Harapan meraih haji mabrur. Sambil menunggu kepulangan para tamu Allah itu, saya tertarik mengungkapkan impian dua tokoh Aceh yaitu Tgk. Abdurrahman BTM (pimpinan dayah) dan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Seperti dikatakan kepada wartawan Serambi, mereka akan memulangkan dana tanah wakaf di Arab Saudi saat ini. “Nah, kalau pimpinan yayasan Baitul Asyi nanti bersedia, dana tersebut dapat disisihkan pula kepada sejumlah pesantren di Aceh.”

Namun setelah bertemu dengan pengurus Baital Asyi Syekh Munir Abdul Ghani Mahmud Asyi yang dibantu oleh Syekh Khalid bin Abdurrahim bin Abdul Wahab Asyi dan wakil pemerintah Saudi yang ditempatkan di yayasan Baitul Asyi Syekh Dr. Abdul Lathif Balthu. Pengurus Baitul Asyi menuturkan bahwa. “Peruntukannya memang untuk jamaah haji yang berasal dari negeri Aceh, sesuai dengan ikrar wakaf dan kami telah jalankan dengan sangat baik,”

Tahun ini masing-masing jamaah haji Aceh memperoleh 1200 —1400 rial. “Sesuai amanah, bahwa dana sewa itu hanya diberikan untuk jamaah haji Aceh. Tidak boleh diberikan kepada orang lain” kata pengurus Yayasan wakaf Aceh Baitul Asyi kepada Tgk Abdurrahman BTM. Tidak hanya itu, Irwandi berusaha melakukan hal yang sama yakni ‘harta milik Allah’ dikelola oleh pemerintah Aceh. Seakan-akan dia ingin mengatakan bahwa harta wakaf di Mekkah tersebut harus dikelola oleh pemerintah Aceh. “Saya berharap petugas yang mewakili Pemerintah Aceh bisa melobi nazir Baitul Asyi, sehingga aset-aset wakaf bisa dikelola sendiri,” kata Irwandi seraya menambahkan, perlu meneladani sikap dan tindakan mereka dengan menginfakkan kompensasi wakaf tersebut sekembalinya dari tanah suci, sehingga manfaatnya juga bisa dirasakan oleh masyarakat Aceh di tanah air yang belum mampu berhaji.


Pengelolaan tanah wakaf di Saudi Arabia di bawah pengawasan Kementerian Haji dan Wakaf khusus tanah wakaf Aceh Baitul Asyi, pemerintah Saudi telah menempatkan pengawas (sekarang) Syekh Dr. Abdul Lathif Balthu agar pengelolaannya sesuai dengan ikrar yang dilakukan oleh Habib Bugak Asyi (Habib Abdurrahman Al-Habsyi) yang datang ke hadapan Hakim Mahkmah Syariyah Mekkah pada 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H (tgl dan bulan masehi???)

Di depan hakim Habib Bugak Asyi menyatakan keinginannya mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjidil Haram.

Tidak mampu memelihara warisan
Permasalahan tanah wakaf peninggalan peradaban negeri Aceh bukan hanya ada di tanah haram. Sekarang banyak tanah wakaf di Aceh yang tak jelas statusnya. Sebut saja tanah di sekitar Meuligoe Gubernur (pendopo) hingga ke belakang Masjid Raya adalah tanah wakaf yang punya nilai historis. Ironisnya, pemerintah Aceh tidak peduli atau tidak pernah menjaganya. Nah, ini dulu diselesaikan, kenapa pula tanah milik Allah yang jauhnya sekitar 3.000 km ini hendak dikelola oleh pemerintah Aceh.

Seperti diketahui, bahwa tradisi mewakafkan tanah adalah budaya orang Aceh. Sehingga tanah untuk membangun masjid, pendidikan dan pasar, selalu kalau ditelusuri adalah tanah wakaf. Namun, sekarang sebagiannya bukan lagi ‘harta milik Allah’ bahkan sudah diganti dengan sertifikat hak milik suatu instansi, bahkan menjadi milik pribadi, dan beberapa tanah wakaf bersejarah ditukar guling selama tiga dekade.

Seharusnya Pak Haji Irwandi Yusuf dan Tgk. BTM, harus meluruskan dulu tanah wakaf di Aceh ini. Bek ta meugoe bak umong gob (jangan menanam padi di sawah orang lain). Masih banyak pekerjaan pemerintah di Aceh sendiri, ketimbang harus ‘membajak’ di sawah orang lain. Tanah wakaf di Aceh yang tersebar dari Sabang-Kuala Simpang, tidak pernah tercatat di kantor Gubernur Aceh. Demikian pula, pemerintah Aceh tidak punya agenda untuk meluruskan tanah wakaf di Aceh. Mungkin karena tanah wakaf di Aceh tidak ada fee alias untungnya, maka diabaikan.

Pengelolaan tanah wakaf di haramain (Mekkah dan Medinah) berlangsung dengan baik sudah ratusan tahun. Nah, ini yang tak bisa ditiru di Aceh sekarang. Di Mekkah dan Madinah semua tanah wakaf tercatat rapi, karena mereka sadar bahwa tanah wakaf adalah ‘harta miliki Allah.’ Adapun di negeri Aceh ‘harta milik Allah’ ini sudah meubalot-balot. Pemerintah Aceh sendiri tak punya nyali untuk meluruskannya. Padahal, jika tanah wakaf di Aceh ditelusuri dan diluruskan, “harta milik Allah” malah bisa membantu rakyat Aceh. Ini mungkin lebih banyak nilai rupiahnya yang didapatkan daripada tanah wakaf di Mekkah dan Madinah.

Menurut informasi yang berkembang, terkuaknya kembali harta wakaf Aceh di Saudi Arabia di mulai oleh Tgk Anwar Fuadi Salam al-Asyi, yang bermukim di Mekkah sejak tahun 1981. Kepergian anwar Fuadi Abdussalam dibekali dengan silsilah keluarga (sarakata) dan dokumen dokumen wakaf Aceh yang diserahkan oleh Tuanku Hasyim Raja keumala. Pada saat itu Tgk Anwar juga memiliki sepucuk surat yang ditujukan kepada Syech Saleh Asyi di Dammam Saudi Arabia, nadhir wakaf Aceh. Pada tahun 1996, Tgk. Anwar Fuadi menulis buku Harta Wakaf Aceh. Ini disebabkan oleh nadhir wakaf baitul Asyi mengusir Tgk H Syamaun Risyad (Ketua MPU Kota Lhokseumawe sekarang ini). Ketua MPU ini tidak diizinkan tinggal di rumah Aceh di jiyad bir balilla. Karena solidaritas sesama masyarakat Aceh perantauan, maka Tgk Anwar memprotes pada nadhir wakaf, dan protes tersebut bisa dibaca dalam buku tersebut.

Karena Tgk Anwar memiliki dokumen wakaf lengkap. Bahkan dalam dokumen keluarga yang dimilikinya harta wakaf Aceh yang ada di Saudi sebagai berikut: wakaf Syech Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat no 324) di Qassasyiah, Wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (pasar Seng), wakaf Muhammad Abid Asyi, Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi, wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina, Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina, Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina, Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah, Rumah Wakaf di Taif, Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al Hijrah Mekkah , Rumah Wakaf di kawasan hayyi Al Raudhah, Mekkah, Rumah Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah.

Ada juga wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum diketahui pewakafnya. Baru-baru ini ada juga rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah) di Syamiah Mekkah, Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah) di Syamiah, Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah.

Sejatinya, Tgk. BTM dan Irwandi Yusuf memahami duduk persoalan mengenai keberadaan tanah wakaf Aceh yang ada di Mekkah. Jangan sampai ingin ‘membajak di ladang orang.’ Setiap pewakaf memiliki tujuan yang diniatkan kepada Allah. Matlamat inilah yang dijaga oleh pemerintah Arab Saudi. Sehingga suatu kejanggalan ketika ada dua tokoh Aceh ingin mengelola dan menarik manfaat yang berlawanan dengan niat dari pewakaf. Tanah wakaf adalah hubungan hamba dengan Allah. Di dalam konteks inilah kita bisa memahami mengapa Arab Saudi menjaga sekaligus menetapkan pengawas yang mengurusi seluruh tanah wakaf termasuk tanah wakaf Aceh.

Harapan kita adalah jangan ada pihak yang mengambil kepentingan di dalam tradisi dan tata kelola wakaf di Mekkah, sehingga ini bisa menurunkan derajat kehormatan orang Aceh. Saya mengusulkan agar Haji Irwandi beserta aparaturnya mampu meluruskan tanah wakaf yang sudah tidak jelas di Aceh saat ini. Dengan demikian, ketika jamaah haji pulang nanti, mereka juga bangga bahwa tanah wakaf di Aceh juga bisa lebih bermanfaat bagi mereka dan rakyat Aceh umumnya.

Sumber : Catatan M Adli Abdullah. Sun, Nov 29th 2009, 09:49

0 komentar