Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Fonomena globalisasi  pada penghujung dasawarsa pertama abad ke-21  ditandai dengan kemajuan teknologi komunikasi informasi dan transportasi telah menghasilkan perubahan pasif dalam kebudayaan manusia[1]. Sebagai bagian komunitas dunia, pada saat bersamaan umat islam cenderung kurang mampu mengikuti perkembangn zaman. Apalagi jika ingin mengungguli bangsa lain dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengarahkan perubahan kehidupan kearah yang lebih baik tentu saja semakin sangat rumit. Padahal islam sangat memperhatikan upaya menciptakan generasi qur’ani (pandangan dan perilaku berbasis nilai qur’an), pribadi berkarakter, dan berkualitas . generasi yang diharapkan tampil dengan kekuatan iman dan taqwa, memiliki kertampilan, menguasai ilmu pengatahuan dan teknologi, menuju pembumian nilai islam secara kaffah[2], cita ideal ini perlu diwujudkan sebagai upaya memenuhi tugas risalah, menyemai suburnya iman, menbagun kekuatan budaya islam dengan mengamal kan islam sebagai rahmatan lil ‘alamain[3]. Visi keunggulan dan daya saing umat, sebagai umat terbaik[4], umat tengah/adil sebagai saksi sejarah yang mendapat petunjuk.
 Dalam perspektif global ada beberapa factor yang disoroti oleh Djamali, sebagai fonomena kemuduran umat, yaitu: kemunduran bidang agama, akhlak, keterbelakangan ilmu pengatahuan, dan teknologi, keterbelakangan ekonomi, social, kesehatan, politik, manajemen, dan bidang pendidikan”[5]  secara global di dunia islam, factor-faktor tersebut yang menperlemah  peran umat islam dalam memaksimalkan kemampuan atau daya saing dalam pecaturan dunia global. Umat Islam nampaknya masih kurang  memiliki daya saing global karena keterbelakangan sistemik yang belum bisa dieliminir melalui upaya melejitkan potensi dan kemampuan kompetitif serta kooperatif  umat islam. Sudah saatnya umat islam menetapkan strategi  mewujudkan kemajuan dan kedamaian dalam tatanan dunia baru islam tidak hanya melalui peran politik, tetapi justru melalui pemantapan peran kulturalisasi islam secara komperehensif.
Semua persoalan yang memperlemah kondisi umat harus diatas melalui upaya strategis memperkuat  sumberdaya umat  islam, baik sumberdaya manusia, alam, sosial, IPTEK, maupun modal /keuangan. Salah satu upaya strategis kearah peningkatan kualitas umat adalah dengan membenahi sistem pendidikan yang secara langsung berkaitan dengan pengembangan sumberdaya manusia berkualitas sesuai keperluan lokal, Nasional, regional, dan global. Ketersediaan sumberdaya manusia (human resources) atau SDM unggul yang mampu menjawab persaingan dan bekerja sama mewujudkan kebaikan untuk semua,[6] harus menjadi visi perjuangan umat dalam semua level dan segmen kehidupan.
Dalam konteks keIndonesiaan, banyak hal perlu di cermati dalam kerangka terhadap Pendidikan Islam dan Globalisasi. Islam di Indonesia adalah fakta mayoritas umat.[7] Karena itu, secara konsesional umat Islam Indonesia  bertanggung jawab dan memiliki kontribusi besar atas perkembangan dan kemajuan Indonesia dalam semua aspek pembangunan, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Namun faktanya dalam perkembangan kontemporer, berdasarkan Human Development Index  (HDI) dalam rentang tahun 2003-2007 , menempatkan Indonesia para urutan 58, 59, 61, 61 . Selanjutnya laporan PBB, yang dipaparkan UNESCO tahun 2007 bahwa peringkat Indonesia dalam hal pendidikan trun dari pearingkat 58 menjadi 62, di antara 130 negara. Kemudian Education Development index  (EDI), menempatkan Indonesia beraada pada nilai (0,935), di bawah Malaysia dengan nilai (0,945) dan Brunei (0,965). Tingkatan yang semakin melorot ini, menempatkan visi pendidikan Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa relatif semakin lama terwujud”[8].
B.      Rumusan Masalah
1.             Bagaimana hakikat pendidikan islam
2.             Globalisasi dan Dampaknya Dalam Dunia Pendidikan
3.             Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hakikat Pendidikan Islam
  Pendidikan adalah fenomena kultural/budaya suatu masyarakat. Perkembangan budaya merupakan produk system pendidikan yang dijalankan oleh suatu masyarakat. Sedangkan plengembangan budaya adalah khas manusia. Tak pelak, manusia menjadi satu-satunya makhluk Allah yang berbudaya dan mampu mengembangkan kebudayaannya. Sebagai fenomena kebudayaan, maka pendidikan menjadi factor yag menjamin pembinaan potensi secara maksimal guna mencapai kedewasaaan individu dan memelihara eksistensi serta perkembangan suatu masyarakat dalam mengisi kehidupan dengan pengabdian dan kekhalifahannya secara berkualitas/unggul sebagai insan shaleh di muka bumi.[9]
  Langgulung,[10] menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik. Setiap suasana pendidikan mengandung tujuan-tujuan, maklumat-maklumat berkenaan dengan pengalaman-penglaman yang dinyatakan sebagai materi, dan  metode yang sesuai untuk mempersembahkan materi itu secara berkesan kepada anak.
  Sedangkan tujuan pendidikan Islam ditegaskan bahwa: ”The aim of education in Islam is to produce a good man” yang berarti bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menghasilkan pribadi manusia yang baik. Adapun yang baik itu adalah berkenaan dengan adap, berkenaan esensi budi dalam percapaian kualitas kebaikan dimensi spiritual dan material manusia.[11]
  Pendidikan membantu dalam menyenpurnakan kepribadian seseorang atau kelompok untuk melakukan tugas-tugas secara efisien”[12]. Karena itu pendidikan Islam selain sebagai proses pembinaan fitrah/potensi anak sekaligus merupakan transformasi kebudayaan sehingga eksistensi dan pengembangan hidup umat Islam berlangsung berkelanjutan”. Tujuan yang di tata Islam dalam pendidikan adalah membuat kepatuhan manusia, dan menghambakan diri sepenuhnya pada Allah. Pendidikan adalah proses pemenuhan keyakinan dan cita-cita pendidikan Islam adalah keagamaan. Pendidikan Islam membuat kesadaran manusia sebagai kenyataan jiwa mempengaruhi kegiatan dan kehidupan tidak sempurna dan hanya melalui pendidikan maka bimbingan jiwa mencapai keunggulannya”[13].`          
  Secara sistemik, sistem pendidikan adalah keseluruhan komponon yang terpadu, salingberhubungan dan berfungsi dalam mencapai tujuan. Sisitem pendidikan islam dibentuk dan diteteskan dari filosofi pendidikan islam yang mempertayakan dan menjawab persoalan hakikat manusia, tujuan penciptaan manusia, hakikat pengetahuan (epistemologi), dan hakikat nilai (aksiologi). Secara filosofi, manusia/anak adalah makluk theomorfik, (manusia berasal dari tuhan kembali kepada tuhan) yang diberi amanah sebagai khalifah (pemimpin/wakil, penguasa), dan abdun (hamba),[14] dalam kerangka misi menemukan dan mengamalkan sunatullah untuk keselamatan dan kemakmuran kehidupan umat manusia dimuka bumi. Dengan memantapkan perpaduan filosofi dan sistem pendidikan islam sebagaimana mestinya tentu saja memastikan keutuhan idiologi pendidikan islam yang mengilhami praktik pendidikan yang ideal.
  Dengan begitu, sistem pendidikan islam merupakan upaya mewujudkan sistem pembinaan potensi individu dan umat bagi islamisasi,[15] kehidupan dalam segala aspeknya. Itu artinya, dasar pendidikan islam adalah sunattullah (Wahyu dan hukum alam/sosial empiris) yang menegaskan tauhid sebagai nilai tertingi dari puncak kebenaran realistas.[16] Sehinga pengigkaran atas realitas Maha pencipta (AL-Khaliq) dan realistis yang diciptakan (Makhluk) menjadikan seseorang musrik.
  Tegasnya tujuan pendidikan islam berfokus kepada perwujudan sunattullah dalam kehidupan peribadi (muslim sejati)dengan terbinanya seluruh potensi/fitrah anak menjadi pribadi muslim dan masyarakat islami seutuh nya melalui pendekatan ta’lim tilawah dan tazkiyah,[17] yang memunculkan berbagai metode, media, dan alat pendidikan dengan materi/nilai sumber dari penafsiran terhadap hukum alam/sosial. bagi Al-Attas[18], Al-Tarbiyah, dan Al-Ta’lim, maka al-ta’dib merupakan istilah yang juga digunakan dala pendidikan islam, karena misi utama Rasulullah adalah membaguskan akhlak/adab individu dan masyarakat sebagai diungkap dalam salah satu hadist:” Addabany Rabbi, Fa ahsani Ta’diiby, Tuhanku yang mendidikku dan membaguskan akhlakku”.
  Sejatinya, sistem pendidikan islam adalah sistem yag mengacu kepada pemahaman adanya format pendidikan yang berasaskan islam , dan atau bernuansa islami untuk mewujudkan nilai-nilai islam dalam program,proses,dan aktifitas pembelajaran. Dalam wujudnya, ada berbagai lembaga pendidikan islam, yaitu Madrasah, Pesantren dan Sekolah islam atau sekolah yang di kelola organisasi/yayasan islam yang diyakini dalam pengembangan nya untuk mewujudkan tujuan pendidikan islam, melalui materi/isi, proses, kegiatan, dan metode pendidikan yang islami dalam rangka meraih kualitas/keunggulan pribadi muslim sejati dan masyarakat islam terbaik/unggul.[19]
  Pentingnya pendidikan tidak hanya bagi pencapaian tujuannya, tetapi merupakan bagian integral sebagai suatu agama. Istilah pendiikan, ”Al-Ta’lim” dan Al-Tarbiyah“ dapat diinterpretasikan dalam kenyataannya sebagai inti dari kehidupan religius, mengarahkan manusia melalui Al-Ta’lim dari proses transformasi pengetahuan, sama halnya dengan Al-Tarbiyah atau pelatihan terhadap jiwa untuk mencapai derajat kesempurnaan lebih besar sampai pada perjumpaan dengan Allah”[20] melaui proses Al-Ta’lim, Rasulullah mengajarkan membaca Al-Qur’an kepada kaum muslimin tidak sekedar membaca saja, melainkan membaca dengan perenungan berisikan pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah. Dari tampil membaca, Rasul membawa umat kepada Al-Tazkiyah (pengsucian jiwa) yaitu membersihkan jiwa manusia menjadi muslim sejati/taqwa.[21] Menurut Al-Baqi, Al-Tarbiyah dengan berbagai kata yang serumpun dengannya disebutkan sebanyak lebih dari 872 kali”.[22] Tarbiyah sebagai istilah bagi pendidikan islam ialah proses persiapan dan pengasuhan pada fase pertama pertumbuhan manusia atau masa kanak kanak masa pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi tanggung jawab orangtua dengan mendidik penuh kasih sayang.
  Peran para pendidik dalam mendidik anak tentu saja harus di arahkan untuk mengembangkan potensi/talenta anak secara maksimal dan menyiapkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran sehingga tercapai kedewasaan yang maksimal (intelektualitas, moralitas, estetik, spiritualitas) sebagaimana pribadi muslim sejati/insan saleh. Tegasnya, pribadi yang diinginkan sistem pendidikan sekolah islam adalah yang memiliki kecerdasan intelek, emosi dan spiritual secara terpadu. Suatu perpaduan berpikir  islami (aqliyah Islamiyah) cara berpikir dengan landasan islam dan menjadikan islam sebagai satu satunya standard pemikiran, dan dengan sikap islami (nafsiyah Islamiyah) sikap jiwa dan kecenderungan berpedoman kepada islam dalam standar pemuasan semua kebutuhan manusia.
 Kajian sumber ilmu pengetahuan adalah ketundukan kepada Allah, penjelajahan atas alam semesta,dan kedirian manusia sebagai ciptaan Allah dalam kontek ini ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan dalam penyusunan kurikulum pendidikan islam, yaitu : pendekatan agama (religious approach), yaitu menanamkan ajaran ajaran agma agar materi pelajaran agama yang akan disampaikan kepada siswa harus sesuai dengan daya dan perkembangan kemampuan menerima mereka,dan diberikan secara bertahap,karena bidang pengetahuan agamasangat luas.
Dalam Penyusunan kurikulum perlu diperhatikan tiga aspek, yaitu kesinambungan (kontinuiti), berurutan (sequance) dan aspek keterpaduan (integration).[23]
Pembelajaran dalam pendidikan islam harus menyediakan lingkunganyang memudahkan anak-anak memahami dimensi ketuhanan ,alamsemesta dan dirinyua sehingga anak mampu mengonstruk pengetahuanya. Berpijak padakerangka konseptrual sebagaimana diungkap di atas berarti sistem pendidikan islam bermakna sebagai suatu keterpaduan komponen pendidikan islam yang mengarahkan implementasi proses pembinaan  fitrah manusia melalui transformasi kebudayaan sebagaimana ada dalam struktur program kurikulum  untuk mencapai  tujuan pendidikan islam baik berupa madrasah  sekolah agama maupun pesantren yang turut memberikan kontribusdi  signifikan dalam spektum upaya umat menjalankan misi kehidupan islam sesuai tuntunan dan tuntutan ajaran islam
      Dalam perspektif individu, fungsi pendidikan islam adalah sebagai karakterisasi mengarahkan pembinaan potensi anak menuju terbentuknya pribadi muslim seutuhnya bahagia  di dunia dan di akhirat .suatu kepribadian yang menjaga keseimbangan hubungan dengan Allah dan hubungan sesama manusia (Qs.3.112) dalam perspektif masyarakat, fungsi pendidikan islam sebagai sosialisasi terbentuknya masyarakat islam adalah ummat wassalam (umat tengah) (QS.2:143), umat terbaik atau khairaummah (QS.3:110) dan ummat yang utuh (ummatan wahidah.                                             
        Al-Djamali[24] berpendapat bahwa pada inti nya pendidikan islam memiliki dua sifat fungsi yaitu menunjukan, dan fungsi menangkal . Dijelas kan Al-Djamali, bahwa fungsi pendidkan islam dalam menunjukan, yaitu :
1).    Hidayah kepada iman
Cara terbaik mendidik anak adalah yang mengandung nili hidayah. Jadi pendidikan merupakan pergaulan yang mengandung rasa kemanusiaan terhadap anak dan mengarahkan kepada kebaikan serta cinta kasih dengan menyediakan suasana bagi perkembangan bakat anak secara maksimal dan lurus. Jadi pendidkan adalah perantaraan ,dalam menumbuhkembangkan fitrah anak dalam keimanan (QS.49.17). Keislaman seseorang adalah nikmat dari Allah,bukan balas jasa kepada Allah.

2).    Hidayah kepada penggunaan akal pikiran dan analisis
Allah telah menganugrahkan kepada manusia potensi akal atua kecerdasan. Denagan akal yang dimiliki manusia dapat dijadikan alat membedakan yang baik dan buruk, yang halal dengan haram. Demikian pula Allah memberikan kemampuan kepada manusia untuk melakukan analisis dan penyelidikan. Pendidikan mengarah kemampuan akal dan analisis untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jalan yang baik dan buruk ditunjukkan Allah kepada manusia untuk memilihnya (QS.90:10 dan QS.76:3).

3).    Hidayah kepada akhlak mulia
    Pendidkan Islam dalam semua aspeknya bermuara kepada terbentuknya akhlak yang mulia. Sebagai pendidik,akhlak adalah alat yang dijadikan mengarahkan anak. Sikap lemah lembut,tegas,jujur,dan adil menjadi alat perilaku anak. Sifat mulia ini harus ada dalam perilaku pendidk (QS.3:159)

4).    Hidayah ke arah perbuatan shaleh
Dalam fitrah manusia ada kecendrungan pada keinginan memelihara diri, kerjasama dan bergaul dengan orang lain untuk kepentinagan bersama. Setiap pribadi wajid dipersiapkan memasuki sitem sosial yang

B.      Globalisasi dan Dampaknya Dalam Dunia Pendidikan.
Banyak sekolah di indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini mulai melakukan globalisasi dalam sistem pendidikan internal sekolah. Hal ini terlihat pada sekolah – sekolah yang dikenal dengan billingual school, dengan diterapkannya bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa Mandarin sebagai mata ajar wajib sekolah. Selain itu berbagai jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang membuka program kelas internasional. Globalisasi pendidikan dilakukan untuk menjawab kebutuhan pasar akan tenaga kerja berkualitas yang semakin ketat. Dengan globalisasi pendidikan diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat bersaing di pasar dunia. Apalagi dengan akan diterapkannya perdagangan bebas, misalnya dalam lingkup negara-negara ASEAN, mau tidak mau dunia pendidikan di Indonesia harus menghasilkan lulusan yang siap kerja agar tidak menjadi “budak” di negeri sendiri. Pendidikan model ini juga membuat siswa memperoleh keterampilan teknis yang komplit dan detil, mulai dari bahasa asing, computer, internet sampai tata pergaulan dengan orang asing dan lain-lain. sisi positif lain dari liberalisasi pendidikan yaitu adanya kompetisi. Sekolah-sekolah saling berkompetisi meningkatkan kualitas pendidikannya untuk mencari peserta didik.
Globalisasi seperti gelombang yang akan menerjang, tidak ada kompromi, kalau kita tidak siap maka kita akan diterjang, kalau kita tidak mampu maka kita akan menjadi orang tak berguna dan kita hanya akan jadi penonton saja. Akibatnya banyak Desakan dari orang tua yang menuntut sekolah menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional dan desakan dari siswa untuk bisa ikut ujian sertifikasi internasional. Sehingga sekolah yang masih konvensional banyak ditinggalkan siswa dan pada akhirnya banyak pula yang gulung tikar alias tutup karena tidak mendapatkan siswa.
Implikasinya, muncullah :
Ø              Home schooling, yang melayani siswa memenuhi harapan siswa dan orang tua karena tuntutan global
Ø              Virtual School dan Virtual University Munculnya alternatif lain dalam memilih pendidikan
Ø              Model Cross Border Supply, yaitu pembelajaran jarak jauh
Ø              Model Consumption Aboard, lembaga pendidikan suatu negara menjual jasa pendidikan dengan menghadirkan konsumen dari negara lain;
Ø              Model Movement of Natural Persons.
Ø              Model Commercial Presence, yaitu penjualan jasa pendidikan oleh lembaga di suatu negara bagi konsumen yang berada di negara lain dengan mewajibkan kehadiran secara fisik lembaga penjual jasa dari negara tersebut.
Persaingan untuk menciptakan negara yang kuat terutama di bidang ekonomi, sehingga dapat masuk dalam jajaran raksasa ekonomi dunia tentu saja sangat membutuhkan kombinasi antara kemampuan otak yang mumpuni disertai dengan keterampilan daya cipta yang tinggi. Salah satu kuncinya adalah globalisasi pendidikan yang dipadukan dengan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Selain itu hendaknya peningkatan kualitas pendidikan hendaknya selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Tidak dapat kita pungkiri bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam hal ini, untuk dapat menikmati pendidikan dengan kualitas yang baik tadi tentu saja memerlukan biaya yang cukup besar. Tentu saja hal ini menjadi salah satu penyebab globalisasi pendidikan belum dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Sebagai contoh untuk dapat menikmati program kelas Internasional di perguruan tinggi terkemuka di tanah air diperlukan dana lebih dari 50 juta. Alhasil hal tersebut hanya dapat dinikmati golongan kelas atas yang mapan. Dengan kata lain yang maju semakin maju, dan golongan yang terpinggirkan akan semakin terpinggirkan dan tenggelam dalam arus globalisasi yang semakin kencang yang dapat menyeret mereka dalam jurang kemiskinan. Masyarakat kelas atas menyekolahkan anaknya di sekolah – sekolah mewah di saat masyarakat golongan ekonomi lemah harus bersusah payah bahkan untuk sekedar menyekolahkan anak mereka di sekolah biasa. Ketimpangan ini dapat memicu kecemburuan yang berpotensi menjadi konflik sosial. Peningkatan kualitas pendidikan yang sudah tercapai akan sia-sia jika gejolak sosial dalam masyarakat akibat ketimpangan karena kemiskinan dan ketidakadilan tidak diredam.
Selain itu ketidaksiapan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional dan ketidaksiapan guru yang berkompeten dalam menyelenggarakan pendidikan tersebut merupakan perpaduan yang klop untuk menghasilkan lulusan yang tidak siap pula berkompetisi di era globalisasi ini alias lulusan yang kurang berkualitas. Seperti yang dilansir KOMPAS.com tanggal 28 Oktober 2009 menyebutkan bahwa tiga hasil studi internasional menyatakan, kemampuan siswa Indonesia untuk semua bidang yang diukur secara signifikan ternyata berada di bawah rata-rata skor internasional yang sebesar 500. Jika dibandingkan dengan siswa internasional, siswa Indonesia hanya mampu menjawab soal dalam kategori rendah dan sedikit sekali, bahkan hampir tidak ada yang dapat menjawab soal yang menuntut pemikiran tingkat tinggi. hasil tiga studi tersebut mengemuka dalam seminar Mutu Pendidikan dan Menengah Hasil Penelitian Puspendik 2009 di Gedung Depdiknas, Jakarta, Rabu (28/10). Masih dalam Kompas.com tanggal 28 Oktober 2009 menyebutkan salah satu penelitian yang mengungkap lemahnya kemampuan siswa, dalam hal ini siswa kelas IV SD/MI, adalah penelitian Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), yaitu studi internasional dalam bidang membaca pada anak-anak di seluruh dunia yg disponsori oleh The International Association for the Evaluation Achievement. Hasil studi menunjukkan bahwa rata-rata anak Indonesia berada pada urutan keempat dari bawah dari 45 negara di dunia. Demikian hasil studi tersebut dipaparkan dalam laporan penelitian “Studi Penilaian Kemampuan Guru Melalui Video dengan Memanfaatkan Data PIRLS” oleh Prof Dr Suhardjono dari Pusat Penelitian Pendidikan Depdiknas di Jakarta, Rabu (28/10). Dalam laporan tersebut, Suhardjono menuturkan, muara dari lemahnya pembelajaran membaca patut diduga karena kemampuan guru dan kondisi sekolah.
Dalam lansiran lain di Kompas.com tanggal 19 Juni 2009 Ir Hafilia R. Ismanto MM., Direktur Bidang Akademik LBPP LIA, menyebutkan bahwa sampai saat ini masih banyak guru belum berhasil untuk dijadikan role model sebagai pengguna Bahasa Inggris yang baik, penyebab hal tersebut karena selama ini pihak sekolah dan guru belum melakukan pendekatan integrasi antara content atau mata pelajaran dan Bahasa Inggris. Tidak semua guru mata pelajaran bisa diberdayakan untuk memberikan materi berbahasa Inggris, kecuali para guru itu memang benar-benar siap.
Pendidikan di Indonesia sekarang membuat rakyat biasa sangat menderita. Pendidikan menjadi sesuatu yang tak terjangkau rakyat kecil. Tidak ada penggolongan orang miskin dan orang kaya. Lembaga pendidikan telah dijadikan ladang bisnis dan dikomersialkan.
Kebijakan yang mahal ini memang sangat merisaukan karena akan mengubur impian mobilitas kelas sosial bawah untuk memperbaiki status kelasnya. Melalui sistem ini, maka yang bisa diserap dalam lingkungan pendidikan adalah mereka yang memiliki modal yang cukup. Sekolah kian menjadi lembaga elite dan bahkan menjadi kekuatan yang menghadang arus mobilitas vertikal kelas sosial bawah. Dalam beberapa aktivitasnya bahkan sekolah ikut terlibat melegitimasi tatanan yang timpang. Jika diusut penyebab ini semua, tentu jawabannya adalah kebijakan ekonomi neoliberal. Neoliberalisme berangkat dari keyakinan akan kedigdayaan pasar serta pelumpuhan kekuasaan negara. Sekolah tidak perlu menjadi tanggungan negara, cukup diberikan pada mekanisme pasar. Biarlah pasar yang akan menyeleksi mana sekolah yang patut dipertahankan dan mana yang harus gulung tikar. Di situ pendidikan berangsur-angsur menjadi tempat eksklusif yang memberi pelayanan hanya pada mereka yang kuat membayar.
Implikasinya, jutaan rakyat Indonesia belum memperoleh pendidikan yang layak. Bahkan tidak sedikit pula yang masih berkategori masyarakat buta huruf. Mereka belum bisa menikmati dunia pendidikan seperti anggota masyarakat yang mampu “membeli” dan menikmati pendidikan. Masyarakat demikian mencerminkan suatu kesenjangan yang serius karena di satu sisi ada sebagian yang bisa membeli politik komoditi pendidikan secara mahal. Sementara tidak sedikit anggota masyarakat yang tidak cukup punya kemampuan ekonomi untuk bisa membebaskan diri dari buta huruf akibat dunia pendidikan yang tidak berpihak secara manusiawi kepada dirinya. Biaya pendidikan yang melangit ini terjadi di dunia pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi.
Tidak hanya itu implikasi dari makin mahalnya biaya pendidikan. Kualitas mahasiswa yang masuk perguruan tinggi pun nantinya patut dipertanyakan karena bukan tidak mungkin uang yang akan berbicara. Siapa yang lebih banyak dia yang akan menang. Bisa jadi mereka yang memiliki kemampuan intelektual pas-pasan bisa mengenyam pendidikan di jurusan dan universitas favorit karena dia bisa membayar biaya yang cukup tinggi. Sementara itu, mereka yang memiliki kemampuan lebih tidak bisa menyandang gelar mahasiswa lantaran tidak memiliki kemampuan finansial.
Realitas menunjukkan, krisis yang menimpa dunia pendidikan di Indonesia, khususnya kualitas pendidikan yang rendah, merupakan persoalan yang sangat kompleks. Prasarana, sarana, dan fasilitas kurang memadai, anggaran pendidikan nasional yang sangat minim, dan banyaknya guru yang mengajar tidak sesuai dengan keahlian atau memang belum layak disebut guru merupakan faktor yang ikut menyulitkan pengembangan kualitas pendidikan.
Selain itu telah muncul banyak pernyataan dan keluhan tentang rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia, yang tentu saja terkait dengan mutu lulusan yang dihasilkan oleh sistem pendidikan. Padahal, anggaran negara yang dialokasikan untuk pendidikan itu selalu bertambah dari tahun ke tahun. Sungguh ironis memang, anggaran selalu naik tetapi kualitas lulusan tetap rendah dan justru dirasakan semakin mahal. Mengapa hal seperti ini terjadi, padahal kurikulum dan buku, entah sudah berapa kali diubah. Entah sudah berapa macam metode mengajar yang ditatarkan kepada guru. Akankah keadaan ini dibiarkan terus berlanjut? Jika tak menghasilkan lulusan yang berkualitas dan dapat diandalkan, dapatkah pendidikan itu disebut sebuah investasi untuk masa depan?
Namun seringkali masyarakat hanya dibuai oleh janji-janji anggaran atau kebijakan bertemakan “alokasi”. Faktanya mimpi masyarakat ini sulit terkabul dengan alas an-alasan yang politis. Pejabat belum sungguh-sungguh menempatkan dunia pendidikan ini sebagai penyangga kemajuan bangsa. Kenyataannya memang demikian. Subsidi pemerintah pemerintah perlahan menyurut hingga tak lagi dapat mencukupi kebutuhan universitas. Namun di balik itu semua ada hal yang terlewatkan oleh para pimpinan universitas sebagai makin mahalnya biaya pendidikan. Yakni, kaum miskin hanya bisa gigit jari karena tidak dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi.
Selain itu banyak penyelewengan-penyelewengan anggaran pendidikan yang dilakukan oleh dilakukan aparat dinas pendidikan di daerah dan sekolah. Peluang penyelewengan dana pendidikan itu terutama dalam alokasi dana rehabilitasi dan pengadaan sarana prasarana sekolah serta dana operasional sekolah. Temuan tersebut dipaparkan oleh Febri Hendri, Peneliti Senior Indonesia Corruption Watch (ICW) saat menyoal Evaluasi Kinerja Departemen Pendidikan Nasional Periode 2004 – 2009 di Jakarta, Rabu (9/9). Menurut Febri, selama kurun waktu 2004-2009, sedikitnya terungkap 142 kasus korupsi di sektor pendidikan. Kerugian negara mencapai Rp 243,3 miliar. (Kompas.com tanggal 9 September 2009).
Padahal tujuan utama dari pengucuran dana pendidikan tersebut seperti dana BOS adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan, menaikkan kualitas tenaga pendidik supaya siswa Indonesia memiliki daya saing di tingkat internasional. Namun apa yang terjadi selain penyelewengan seperti yang disebutkan di atas, terjadi penggunaan dana BOS yang belum tepat seperti yang dimuat Kompas.com tanggal 28 Oktober 2009 yang merupakan hasil penelitian bidang pendidikan berkerja sama dengan Pusat Penelitian Depdiknas yang dibahas dalam seminar bertajuk Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah yang dipaparkan oleh Bahar Sinring, Dekan Fakultas Muslim Indonesia Makassar menyebutkan bahwa Dari penggunaan dana BOS di tiap provinsi terlihat bahwa pemanfaatan untuk gaji guru atau tenaga administrasi honorer mengambil porsi yang cukup besar sekitar 20-40 persen. Akibatnya, dana BOS yang dapat dinikmati siswa, termasuk untuk membantu siswa miskin, berkurang. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan diketahui bahwa enam dari sepuluh sekolah menyimpangkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Rata-rata penyimpangan itu senilai Rp 13,7 juta.
Menurut Ade (dalam Kompas.com 9 September 2009 kebocoran anggaran ataupun dalam bentuk paling parah seperti korupsi pendidikan, ini menyebabkan berkurangnya anggaran dan dana pendidikan, merusak mental birokrasi pendidikan, meningkatkan beban biaya yang harus ditanggung masyarakat, dan turunnya kualitas layanan pendidikan. Bahkan, dalam beberapa kasus, korupsi pendidikan telah membahayakan nyawa peserta didik dalam bentuk ambruknya gedung sekolah.
C.      Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam
Menurut Center for Moderate Muslim Indonesia, setidaknya ada tiga tantangan pokok yang dihadapi pendidikan Islam di Indonesia dalam menelusuri arus global yaitu:
1.     Konformisme kurikulum dan sumber daya manusia.
Konformisme atau cepat merasa puas dengan keadaan yang ada menjadi kendala mendasar dalam mengembangkan kurikulum pendidikan Islam. Lembaga pendidikan dasar dan menengah masih menggunakan model kurikulum lama dengan mengandalkan pendidikan dasar agama sebagai bekal mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat. Pembahasan yang diajarkan pun masih banyak menekankan aspek normatif dengan (mohon maaf) menegesampingkan aspek transformatif dalam konteks sosio-kultural masyarakat kita. Jangan kaget, apabila ada sekelompok ikhwan yang sudah merasa cukup hanya dengan mengkaji ilmu-ilmu keislaman yang datang dari tokoh-tokoh salaf dan menganggap tabu ilmu-ilmu lain (kontemporer) yang sebenarnya sama pentingnya. Kiranya kita perlu menata ulang pemahaman hadis Nabi Muhammad SAW; “man arod al dunya fa ‘alaihi bi al ‘ilmi, wa man aroda al’akhirota fa ‘alaihi bi al ‘ilmi, wa man ‘arodahuma fa ‘alaihi bi al ‘ilmi”.
Dunia ini jauh lebih kompleks daripada yang kita pelajari dan bayangkan selama berada di tempat belajar. Indonesia tidak mungkin dilihat hanya melalui kaca mata sempit. Bagaimana kita akan mampu mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan keterbatasan kalau kita hanya belajar zaidun qo’imun (istilah penulis)? Lembaga-lembaga Islam seperti pesantren perlu melepaskan diri dari keterkungkungan dan memodernisasi sistem dan metode pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern.
2.     Perubahan Sosial Politik
Iklim sosial politik kita yang tidak menentu ikut memberi warna pada dunia pendidikan Islam. Sebagai negara demokrasi, politik merupakan hal yang tak bisa terhindarkan. Bahkan, tidak sedikit ulama (pengampu pendidikan Islam) menceburkan diri dalam kancah politik praktis. Mereka yang seharusnya berperan sebagai wasit, malah ikut andil menendang bola. Lalu apa yang terjadi dengan umat yang ditinggalkannya? Santri-santrinya? Lembaga pendidikannya? (biar mereka sendiri yang menjawab).
3. Perubahan orientasi.
Sang Proklamator Bung Hatta pernah mengatakan, agama hidup di masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mempunyai dinamika dan perubahan. Oleh sebab itu, para pendidik agama pun harus bisa menangkap dan tanggap terhadap “roh” perubahan, agar Islam senantiasa compatible dengan perkembangan masyarakat. Pertanyaannya kemudian, sudahkah kita dan para tokoh agama merespon wejangan Sang Proklamator? Atau kita hanya menghormati dan mengingat beliau sebatas mengikuti rituak 17 Agustus-an tanpa mengindahkan gagasan-gagasan beliau?
Hari ini, tidak sedikit lembaga pendidikan Islam yang masih alergi dengan filsafat, bahkan ilmu sosial lainnya yang dituding sebagai bentuk hegemoni Barat di bidang ilmu pengetahuan. Kejumudan intelektual akut sedang dialami umat. Orientasi dari sekedar mendidik untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama an sich harus di re(de)konstruksi menjadi paham terhadap ilmu agama, ilmu sosial, ilmu alam, dan ilmu humaniora.


BAB III
KESIMPULAN

Pendidikan adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik. Setiap suasana pendidikan mengandung tujuan-tujuan, maklumat-maklumat berkenaan dengan pengalaman-penglaman yang dinyatakan sebagai materi, dan  metode yang sesuai untuk mempersembahkan materi itu secara berkesan kepada anak.
Globalisasi pendidikan membawa dampak adanya kesenjangan sosial didalam dunia pendidikan, karena hanya orang-orang yang mempunyai modal lebih besar saja yang dapat menikmati kualitas pendidikan dengan standar internasional, merosotnya kualitas pendidikan, Perlu adanya perombakan pada kebijakan yang menyangkut masalah pendidikan dengan menelurkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kaum miskin, momersialisasi pendidikan mutlak harus dihentikan karena hanya memunculkan sekelompok orang yang menggunakan pendidikan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan.
Dalam menelusuri arus global setidaknya ada tiga tantangan pokok yang dihadapi pendidikan Islam di Indonesia meliputi Konformisme kurikulum dan sumber daya manusia, Perubahan Sosial Politik, serta Perubahan orientasi.



DAFTAR PUSTAKA


Djaswidi Al Hadani, Pengembangan Kepemimpinan Transformasional pada Lembaga Pendidikan Islam, Bandung Nuansa Alia 2005

Hasan Langgulung Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta Pustaka Al-Husna 1989

Fadhil Al-Djamali, Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam, Jakarta PT. Golden Terayon Press 1993.

A. Noor, Farish, Islam Progresif: Peluang, Tantangan, dan Masa Depannya di Asia Tenggara, Yogjakarta: SAMHA, 2006), Cet. I.

Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: KARYA AGUNG, 2005.

Susanti, Dewi, Relevankah Sekolah Menengah?, Kompas, edisi Kamis, 21 Agustus 2008.

Syuhud, A. Fatih, Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi(www.kammi.or.id)




* Guru Besar Ilmu Pendidikan pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera
[1] Globalisasi dimaknai sebagaimana telah populer adalah kebebasan perpindahan bahan mentah, komoditi, modal, pelayanan dan tenaga kerja melintasi semua geografis dan lingkaran politik. Dalam era globalisasi manfaat kemajuan IPTEK menghasilkan kemudah hidup, mempercepathubungan dan pengaruh antar negara sehingga dunia ini bagaikan global village (perkampungan global). Selain itu globalisasi menciptakan sikap materialisme, hedonistik, dan permisif (serba boleh) menggeser nilai-nilai transendeltal/sakral. Disini ada peluang sekaligus tantangan yang perlu direspon umat islam, tak terkecuali respon para komunitas pendidik muslim dan pengelola pendidikan islam.
[2] Lihat QS.QS. 4:9; 2:208; 3:104, 110
[3] QS. 21:107
[4] QS. 3:110; QS. 2:143
[5] Fadhil Al-Djamali, Menerebas Krisis Pendidikan Dunia Islam, Jakarta: PT. Golden Terayon Press,1993 hlm. 58-59 h.114
[6] Semangat kompetitif, Fastabiqul Khairat, QS. 2:147; QS.5:48, sekaligus membangun kerjasama untuk kebaikan (ta’awun) (QS.6:2)
[7] Penduduk beragama islam di Indonesia lebih 207 juta (88,20) dari 240-an juta jumlah penduduk negeri ini. Begitupun secara kualitatif umat islam dalam berbagai aspek kehidupan masih lemah kondisinya.
[8] Lihat data Kementerian Pendidikan Nasional RI, tahun 2009. penentuan ranking HDI ini mengaku kepada lima indikator, yaitu (1) Nilai HDI, (2) angka harapan hidup, (3) Tingkat melek huruf usia 15 tahun ke atas, (4) rasio pertumbuhan pendaftar sekolah dasar dan menengah, (5) Pendapatan perkapita.
[9] Lihat Al-Baqarah ayat 249
[10] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta Pustaka Al-Husna, 1989. h.22
[11] Lihast Syed Naquib Al-Attas, Aims and Objective of Islamic Edication, Jeddah: Hodder and Stoughton King Abdul Aziz University,1979, h.1
[12]  Syed Naquib Al-Attas dalam pendahuluan Syed Naquib Al-Attas, h.ix.
[13] Zafar Alam, Islamic Education Theory & Practive New Delhi:Adam Publishers & Distributors, 2003, h.42
[14] QS. Al-An’am ayat 165, dan QS. 51:56.
[15] Penerimaan dan pelaksanaan secara sadar kultur islam yang ideal oleh orang-orang yang bukan muslim dan orang-orang yang hanya mengaku muslim. Lihat S.Wakar Ahmed Husaini, Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, Bandung: Pustaka, 1983, h.373
[16] Lihat QS. An Nisa’ ayat 48 dan 116
[17] Al Baqarah ayat 128, dan 151
[18] Syed Naquib Al-Attas, op.cit. h.2.
[19] Ibid h.4
[20] QS. 3:104 dan 110
[21] QS. Al-Baqarah ayat 151 Al-Tarbiyah menurut Jalal hanya diungkapkan pada dua tempat dalam Al-Qur’an; QS. Al-Isra’ ayat 24, dan QS. As-Syu’ara ayat 18
[22] Muhammad Fu’ad Al-Baqi, Mu’jam Al-Mufahras li-Al Fazh Al-Qur’an Al-Karim, Indonesia; Maktabah Dahlan, tt.h.362.
[23] Syed Ali Ashraf, New Horizon in Muslim Education. Jakarta: Pustaka Mantiq. 1989, h.1
[24] Fadhil Al-Djamali, Menerebas Krisis Pendidikan Dunia Islam, Jakarta: PT. Golden Terayon Press,1993 hlm. 58-59

0 komentar