Jangan Rontokan UUPA, Karena Kepentingan Nafsu Kuasa


PENGESAHAN Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) pada 1 Agustus 2006, merupakan tonggak sejarah baru bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah di Aceh. UUPA merupakan bagian dari pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang lebih dikenal dengan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. MoU ini merupakan instrumen politik untuk penyelesaian konflik yang telah berlangsung selama hampir tiga dekade antara pemerintah RI dengan GAM.

Keberadaan UUPA dalam kancah penyelenggaraan pemerintahan memang unik. Di samping bersifat khusus (lex specialis), UUPA juga terkait dengan penyelesaian konflik, dan karenanya juga terkait dengan martabat Aceh. Bagi masyarakat Aceh, martabat adalah hal yang sangat utama, sehingga tidak jarang, hal sepele pun menjadi masalah besar ketika itu menyinggung martabat seseorang atau kelompok. Artinya, ketika martabat merasa diusik, reaksi dalam berbagai bentuk pun segera muncul.

UUPA bukanlah UU biasa. Keberadaan UUPA merupakan bentuk pengakuan dan penghargaan terhadap martabat Aceh. Di samping itu, UUPA juga merupakan instrumen yang menyediakan potensi atau peluang bagi Aceh untuk mempercepat perwujudan keadilan dan kesejahteran rakyatnya. Dengan demikian, keberadaan dan keberhasilan implementasiUUPA dapat menjamin kelanggengan perdamaian Aceh.

UUPA yang dimiliki Aceh terkadang membuat masyarakat daerah lain cemburu pada Aceh. Hal ini dikarenakan Aceh memiliki UU khusus yang tak dimiliki daerah lain. Kita tentu patut mensyukuri terhadap apa yang sudah kita miliki. Sayangnya beberapa Tokoh politik yang haus akan kekuasaan mulai membonsai UUPA. Satu persatu UUPA mulai di uji materi di Mahkamah Konstitusi.

Kita masih ingat bagaimana Pasal 125 UUPA tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, UU nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, Pasal 204 dan Pasal 205 yang mengatur kewenangan kordinasi dan persetujuan Gubernur dalam pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Aceh. Kebijakan ketenteraman dan ketertiban masyarakat di Aceh dikoordinasikan oleh Kapolda kepada Gubernur telah digugat. Bahkan yang baru baru ini terjadi, pasal 67 ayat (2) huruf g pada UUPA yang melarang mantan terpidana untuk Pilkada juga di gugat oleh salah seorang calon gubernur yang ingin ikut berkompetisi dalam Pilkada Aceh.

Semua upaya menggugat UUPA disinyalir ada tendensi politik dari upaya konstitusi para pemohon. Dan ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap rakyat Aceh. UUPA merupakan kekhususan yang mewakili kepentingan seluruh rakyat Aceh. Ketika produk legislasi ini digugat, maka sama saja mencederai proses politik di Aceh.

Dalam akhir kata penulis ingin mengatakan, Silahkan saja anda berpolitik, namun janganlah anda gugat UUPA dikarenakan kepentingan nafsu pribadi semata. Sesungguhnya kita akan merasa rugi jika suatu saat UU yang hanya dimiliki Aceh ini hilang gara-gara nafsu politik pribadi.

SUMBER : http://acehwatch.com/

0 komentar